Melampaui Krisis: Bencana Itu Bernama Perubahan Iklim
Oleh: Cakra Achmad
Relawan Gemma 9
Dalam film dokumenter An Inconvenient Truth 18 tahun lalu (Rilis: Mei, 2006), Al Gore menyampaikan analogi yang menggugah: kodok yang dibiarkan di dalam panci berisi air yang dipanaskan perlahan-lahan tidak akan melompat keluar, dan akhirnya, kodok itu mati dalam air yang sudah mendidih. Begitulah manusia dalam menghadapi perubahan iklim – tetap berada dalam panci meski suhu terus meningkat. Sayangnya, air di panci ini sudah mendidih, dan kodok tersebut – kita semua – hampir matang. Kita sudah terlalu lama menunda tindakan krusial, terus-menerus menyebut perubahan iklim sebagai “krisis” dan bukannya “bencana,” seakan-akan masih ada waktu untuk mencari solusi bertahap.
Istilah “krisis iklim” sudah lama mendominasi wacana tentang perubahan iklim. Namun, melihat dampak perubahan iklim yang semakin parah dan semakin sulit dikendalikan, istilah “krisis” tidak lagi cukup menggambarkan ancaman nyata yang kita hadapi. Krisis umumnya merujuk pada situasi darurat yang membutuhkan tindakan segera namun biasanya bisa ditanggulangi. Sementara itu, perubahan iklim sudah melampaui batas krisis – ia telah menjadi bencana yang terus mengintensifkan kehancuran. Bencana perubahan iklim adalah kenyataan yang membutuhkan penanganan secara global, sistematis, dan segera.
Perubahan iklim, sekali lagi kita perlu tegaskan, bukan lagi sekadar krisis lingkungan—ia telah menjadi bencana global yang melanda seluruh dimensi kehidupan manusia. Dari naiknya permukaan laut hingga badai yang semakin ganas, dampaknya terasa nyata dan tak terhindarkan. Dunia kini menghadapi tantangan eksistensial yang tidak hanya mengancam masa depan generasi berikutnya, tetapi juga kehidupan yang kita jalani hari ini.
Dari Krisis Menuju Bencana: Fakta yang Tak Bisa Diabaikan
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menggambarkan situasi yang suram. Dalam dua dekade terakhir, suhu global telah meningkat sebesar 1,1°C dibandingkan era pra-industri. Angka ini tampak kecil, tetapi dampaknya luar biasa. Naiknya suhu telah mempercepat pencairan lapisan es di Kutub Utara dan Selatan, meningkatkan permukaan laut, dan mengancam pulau-pulau kecil serta wilayah pesisir.
Di tempat lain, gelombang panas yang lebih sering terjadi di Eropa, Asia, dan Amerika Utara telah menyebabkan ribuan kematian. Di Afrika dan Asia Selatan, kekeringan berkepanjangan menghancurkan hasil panen, memperburuk kelaparan, dan memicu konflik atas sumber daya yang semakin terbatas.
Ini bukan hanya krisis perubahan iklim. Ini adalah bencana, dan bencana ini tidak terjadi dalam ruang kosong. Ia menimbulkan efek domino yang merusak tatanan sosial, ekonomi, dan politik.
Ironisnya, meskipun bukti-bukti dampak perubahan iklim begitu nyata, banyak lembaga global dan pertemuan penting dunia tetap memilih kata “krisis” daripada “bencana.” Dalam berbagai pertemuan COP – termasuk COP28 dan COP29 bulan November 2024 lalu – laporan dan deklarasi masih memilih menggunakan kata “krisis” yang memerlukan tindakan. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pun menyebut bahwa kita tengah berada dalam “krisis iklim,” meski kenyataannya dampak buruknya semakin nyata sebagai “bencana” yang sudah merusak kehidupan.
Laporan-laporan yang disampaikan dalam pertemuan tersebut, meski memuat data nyata tentang kerusakan lingkungan dan kerugian manusia yang disebabkan oleh perubahan iklim, masih jarang menyatakan bahwa kita berada di tengah bencana iklim yang tidak bisa diredakan dengan langkah setengah hati. Bahkan lembaga-lembaga nasional yang sangat terdampak, masih melihat dampak perubahan iklim ini sebagai krisis yang dapat ditangani dengan manajemen kesiapsiagaan bencana, seakan bencana belum terjadi. Kita hanya melihat sedikit upaya nyata untuk mengakui bahwa perubahan iklim sudah menjadi bencana yang menuntut emergency response skala global dan langkah besar serta perubahan pandangan yang radikal. Ini bukan krisis, tapi bencana yang sedang terjadi dan akan semakin parah kerusakannya.
Perubahan iklim telah mengubah ekosistem di seluruh dunia dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ekosistem laut, yang menyerap lebih dari 90% panas tambahan akibat perubahan iklim, mengalami pemutihan karang massal yang memengaruhi rantai makanan laut global. Di darat, hutan Amazon, yang dikenal sebagai paru-paru dunia, semakin mendekati titik kritis di mana ia akan berhenti menjadi penyerap karbon dan justru menjadi penghasil karbon.
Kerusakan ini tidak hanya mengancam flora dan fauna, tetapi juga manusia. Komunitas yang bergantung pada laut dan hutan untuk hidup mereka menghadapi risiko kehilangan mata pencaharian, migrasi paksa, dan kemiskinan yang lebih parah.
Perubahan Iklim dan Ketidakadilan Global
Perubahan iklim juga mengungkap ketidakadilan global yang mendalam. Negara-negara kaya, yang telah lama menjadi penghasil emisi karbon terbesar, memiliki sumber daya untuk melindungi diri dari dampak terburuk. Sementara itu, negara-negara berkembang, yang kontribusinya terhadap emisi global jauh lebih kecil, justru menanggung beban terberat.
Bangladesh, misalnya, menghadapi banjir tahunan yang semakin parah, mengakibatkan hilangnya tanah pertanian dan memaksa jutaan orang menjadi pengungsi iklim. Di Pasifik, negara-negara seperti Kiribati dan Tuvalu berjuang mempertahankan keberadaan mereka saat pulau-pulau mereka tenggelam.
Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rentan terhadap bencana perubahan iklim, dengan kombinasi risiko dari kenaikan permukaan laut, banjir, hingga kekeringan ekstrem. Wilayah pesisir seperti Jakarta menghadapi ancaman tenggelam akibat subsiden tanah yang diperparah oleh naiknya muka air laut. Selain itu, pola hujan yang tidak menentu telah memicu gagal panen di daerah-daerah agraris seperti Jawa dan Sumatra, memperburuk ketahanan pangan nasional. Fenomena kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra, yang semakin intens akibat kekeringan berkepanjangan, tidak hanya merusak ekosistem lokal tetapi juga menyebabkan polusi udara lintas batas. Ini adalah pengingat nyata bahwa Indonesia berada di garis depan bencana iklim, memerlukan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi yang segera.
Ketimpangan ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga moral. Dunia menghadapi dilema etis: siapa yang harus bertanggung jawab, dan bagaimana memastikan bahwa tindakan iklim adil bagi semua?
Meski perjanjian internasional seperti Kesepakatan Paris 2015 bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C, realitasnya jauh dari harapan. Emisi karbon global terus meningkat, dan banyak negara tidak memenuhi target pengurangan emisi mereka.
Tindakan yang diambil sejauh ini lebih bersifat tambal sulam dibandingkan transformasi sistemik yang dibutuhkan. Pendekatan global terhadap perubahan iklim sering kali lambat, terfragmentasi, dan terhambat oleh kepentingan politik dan ekonomi jangka pendek.
Apakah Kita Siap Bertindak?
Untuk mengatasi bencana ini, dunia memerlukan pendekatan yang terkoordinasi, berani, dan menyeluruh. Solusi teknis seperti transisi ke energi terbarukan, penangkapan karbon, dan restorasi ekosistem harus diprioritaskan. Namun, solusi ini harus didukung oleh perubahan sosial dan politik yang mendalam, termasuk mengatasi ketimpangan global dan menciptakan sistem ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Selain itu, masyarakat di semua tingkatan harus terlibat. Kesadaran publik, aksi lokal, dan gerakan global dapat menjadi katalis perubahan. Ketika individu, komunitas, dan negara bekerja bersama, perubahan nyata menjadi mungkin.
Perubahan iklim adalah bencana, tetapi bukan bencana alam. Ia adalah hasil dari tindakan manusia—dan karena itu, solusinya juga berada di tangan manusia. Ini adalah momen kritis dalam sejarah kita: apakah kita akan membiarkan bencana ini terus berlangsung, ataukah kita akan bertindak untuk mengatasinya?
Jawabannya ada pada kita semua. Waktu terus berjalan, dan dunia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Perubahan iklim telah menjadi bencana; ini adalah panggilan darurat untuk bertindak—sekarang, sebelum terlambat, sebelum bencana perubahan iklim menghentikan kehidupan kita dan kiamat untuk generasi mendatang. Tamat.