Catatan 96 Tahun Sumpah Pemuda

Oleh: Cakra Achmad

Ketika kita merenungkan perjuangan kemerdekaan Indonesia, satu fakta sejarah yang sering kali terlupakan adalah bahwa para pendiri bangsa kita pada dasarnya adalah pemuda—pemuda yang menjadi pahlawan dan berstatus relawan. Mereka bukan hanya memimpin pergerakan nasional, tetapi juga melakukannya tanpa pamrih, mengorbankan kenyamanan pribadi demi cita-cita besar: kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam momentum peringatan 96 tahun Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober 2024, penting untuk mengingat bahwa semangat pemuda yang mendirikan bangsa ini tidak hanya berakar pada nasionalisme, tetapi juga pada pengabdian tanpa batas sebagai relawan untuk masa depan bangsa.

Tahun 1928, ketika Sumpah Pemuda dikumandangkan, Indonesia belum terbentuk sebagai negara. Para pemuda dari berbagai penjuru nusantara berkumpul di Kongres Pemuda II dengan semangat untuk melahirkan sebuah kesatuan, yang kemudian dikenal sebagai bangsa Indonesia. Saat itu, mereka belum mengenal apa yang sekarang kita pahami sebagai bangsa Indonesia, karena yang ada hanyalah Hindia Belanda—sebuah wilayah koloni yang terpecah oleh berbagai suku, agama, dan kepentingan regional. Namun, semangat persatuan yang mereka kobarkan dalam ikrar Sumpah Pemuda membuktikan satu hal: mereka adalah pemuda yang berpikir jauh melampaui zamannya. Mereka adalah pionir dari gagasan tentang bangsa yang bersatu, sebuah konsep yang belum pernah ada sebelumnya di tanah ini.

Apa yang menarik dari Sumpah Pemuda adalah usia mereka. Sebagian besar tokoh-tokoh yang terlibat dalam pergerakan itu adalah pemuda yang berusia antara 20 hingga 30 tahun. Sukarno, yang kemudian menjadi Proklamator dan Presiden pertama Indonesia, saat itu masih berusia 27 tahun ketika ia mulai terjun dalam dunia pergerakan politik. Hatta, Mohammad Yamin, dan Sutan Sjahrir juga merupakan pemuda yang terlibat dalam upaya membangun kesadaran nasional. Semangat mereka membuktikan bahwa peran pemuda tidak dapat dianggap remeh. Pemuda bukan sekadar pelengkap dalam sejarah, tetapi justru aktor utama yang mendesain arah perjuangan bangsa ini.

Namun, yang membuat mereka istimewa bukan hanya status mereka sebagai pemuda, tetapi juga sebagai pahlawan dan relawan. Mengapa demikian? Mereka berjuang tanpa mengharapkan kekayaan atau kekuasaan. Di tengah represi penjajah, mereka memilih jalan perlawanan yang penuh risiko, bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kebaikan bersama. Mereka rela hidup dalam ancaman penjara, pengasingan, bahkan kematian, demi satu tujuan: kemerdekaan Indonesia. Ini adalah esensi sejati dari seorang relawan—mereka bekerja tanpa imbalan, tanpa jaminan bahwa perjuangan mereka akan berhasil, dan tanpa kepastian apakah mereka akan hidup untuk melihat hasil perjuangan itu.

Perjuanan mereka tidak hanya tampak dalam peristiwa monumental seperti proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tetapi juga dalam setiap tindakan kecil mereka dalam memperjuangkan pendidikan, pemikiran, dan kesadaran nasional. Sukarno dan Hatta, misalnya, adalah pemuda yang tidak hanya berbicara tentang kemerdekaan, tetapi juga membangun gagasan kebangsaan melalui tulisan, pidato, dan organisasi. Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada usia 26 tahun, sementara Hatta aktif menyuarakan kebebasan di kancah internasional. Ini adalah bukti nyata bahwa para pemuda ini tidak hanya menjadi pejuang di medan perang, tetapi juga di ruang-ruang intelektual dan politik.

Mengapa kita harus menganggap mereka sebagai relawan? Relawan adalah mereka yang secara sukarela mengabdikan diri pada tujuan yang lebih besar daripada kepentingan pribadi. Sukarno, Hatta, dan pemuda-pemuda pergerakan lainnya tidak mendapatkan bayaran untuk perjuangan mereka. Mereka tidak mengharapkan jabatan atau penghargaan. Sebaliknya, yang mereka hadapi adalah pengorbanan yang sangat besar. Penjara, pengasingan, dan kemiskinan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Namun, mereka tetap berdiri teguh di garis depan perjuangan, dengan keyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah sesuatu yang layak diperjuangkan. Ini adalah cerminan semangat kerelawanan yang luar biasa.

Faktor lain yang membuat mereka pantas disebut sebagai pahlawan sekaligus relawan adalah visi mereka tentang masa depan. Para pemuda pendiri bangsa ini bukan hanya berjuang untuk mengusir penjajah, tetapi juga untuk membangun sebuah negara yang berdasarkan keadilan sosial. Mereka sadar bahwa perjuangan mereka tidak akan selesai dengan kemerdekaan politik semata, tetapi harus dilanjutkan dengan perjuangan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Ini terlihat dalam rancangan dasar negara yang mereka buat, Pancasila, yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, dan keadilan sosial. Mereka tidak hanya memikirkan generasi mereka, tetapi juga masa depan bangsa yang mereka relakan seluruh hidupnya.

Perjuanan mereka tidak hanya tampak dalam peristiwa monumental seperti proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tetapi juga dalam setiap tindakan kecil mereka dalam memperjuangkan pendidikan, pemikiran, dan kesadaran nasional. Sukarno dan Hatta, misalnya, adalah pemuda yang tidak hanya berbicara tentang kemerdekaan, tetapi juga membangun gagasan kebangsaan melalui tulisan, pidato, dan organisasi. Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada usia 26 tahun, sementara Hatta aktif menyuarakan kebebasan di kancah internasional. Ini adalah bukti nyata bahwa para pemuda ini tidak hanya menjadi pejuang di medan perang, tetapi juga di ruang-ruang intelektual dan politik.

Mengapa kita harus menganggap mereka sebagai relawan? Relawan adalah mereka yang secara sukarela mengabdikan diri pada tujuan yang lebih besar daripada kepentingan pribadi. Sukarno, Hatta, dan pemuda-pemuda pergerakan lainnya tidak mendapatkan bayaran untuk perjuangan mereka. Mereka tidak mengharapkan jabatan atau penghargaan. Sebaliknya, yang mereka hadapi adalah pengorbanan yang sangat besar. Penjara, pengasingan, dan kemiskinan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Namun, mereka tetap berdiri teguh di garis depan perjuangan, dengan keyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah sesuatu yang layak diperjuangkan. Ini adalah cerminan semangat kerelawanan yang luar biasa.

Faktor lain yang membuat mereka pantas disebut sebagai pahlawan sekaligus relawan adalah visi mereka tentang masa depan. Para pemuda pendiri bangsa ini bukan hanya berjuang untuk mengusir penjajah, tetapi juga untuk membangun sebuah negara yang berdasarkan keadilan sosial. Mereka sadar bahwa perjuangan mereka tidak akan selesai dengan kemerdekaan politik semata, tetapi harus dilanjutkan dengan perjuangan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Ini terlihat dalam rancangan dasar negara yang mereka buat, Pancasila, yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, dan keadilan sosial. Mereka tidak hanya memikirkan generasi mereka, tetapi juga masa depan bangsa yang mereka relakan seluruh hidupnya.

Dalam konteks peringatan 96 tahun Sumpah Pemuda, kita harus melihat bahwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia adalah sejarah pemuda. Para pendiri bangsa ini tidak hanya menjadi pahlawan karena keberanian dan pengorbanan mereka, tetapi juga karena peran mereka sebagai relawan. Mereka bukan tokoh-tokoh yang berjuang untuk nama besar atau kekayaan. Mereka adalah pemuda yang dengan ikhlas dan tanpa pamrih mengabdikan hidup mereka demi kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Mereka membuktikan bahwa kepahlawanan sejati lahir dari semangat kerelawanan, dari dedikasi tanpa batas untuk tujuan yang lebih besar daripada diri sendiri.

 

Melihat kembali ke masa lalu, kita bisa belajar bahwa pemuda selalu memegang peran kunci dalam setiap perubahan besar. Hari ini, di era globalisasi dan revolusi teknologi, semangat pemuda yang menjadi pendiri bangsa tetap relevan. Tantangan yang dihadapi generasi sekarang mungkin berbeda, tetapi semangat kerelawanan, pengorbanan, dan kepahlawanan tetap diperlukan. Pemuda hari ini harus belajar dari pendahulu mereka, bahwa membangun bangsa bukanlah tugas yang mudah, tetapi selalu mungkin jika dilakukan dengan semangat kebersamaan dan pengabdian tanpa pamrih.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 bukan hanya tonggak sejarah kebangkitan nasional, tetapi juga simbol keberanian pemuda untuk melangkah melampaui batas-batas pribadi dan kelompok demi masa depan yang lebih baik. 96 tahun kemudian, kita harus merayakan tidak hanya semangat mereka, tetapi juga warisan relawan yang mereka tinggalkan. Para pemuda ini adalah pahlawan dan relawan sejati, yang dengan segala keterbatasan dan tantangan, berjuang tanpa pamrih untuk sebuah bangsa yang kini kita nikmati kemerdekaannya.